Thursday, September 18, 2025
Pengungsi Suriah dari Jabkass Pulang, Temui Desa yang Hancur
Kepulangan ratusan keluarga ke desa Jabkass di selatan Aleppo seharusnya menjadi awal baru setelah bertahun-tahun terjebak di pengungsian. Namun, realitas yang mereka temukan justru jauh dari harapan. Desa itu kini berdiri sebagai puing-puing, tanpa fasilitas dasar untuk menunjang kehidupan sehari-hari.
Salah satu keluarga yang kembali adalah keluarga Abu Hassan. Mereka mendapati rumah yang pernah ditinggali kini sudah runtuh, bahkan atapnya pun hancur. Abu Hassan dan keluarganya terpaksa tinggal di bawah reruntuhan yang sebagian masih bisa ditempati, mencoba bertahan menghadapi musim dingin yang kian mendekat.
Video yang merekam kepulangan mereka memperlihatkan kondisi memilukan. Tidak ada listrik, air bersih, maupun layanan kesehatan yang bisa diandalkan. Bahkan sekolah untuk anak-anak dan toko roti sederhana pun tidak tersedia di desa yang dulunya ramai.
Diperkirakan sebanyak 650 keluarga telah kembali ke Jabkass. Namun kepulangan massal itu tidak diiringi dengan perbaikan infrastruktur dasar. Warga harus mengandalkan persediaan seadanya untuk bertahan hidup setiap hari.
Bagi anak-anak, ketiadaan sekolah berarti masa depan yang suram. Orang tua khawatir generasi muda kehilangan kesempatan belajar, sementara desa lain yang memiliki fasilitas pendidikan masih terlalu jauh untuk ditempuh.
Ketiadaan pusat kesehatan juga menambah beban. Warga yang sakit atau membutuhkan perawatan darurat harus menempuh perjalanan panjang ke kota terdekat. Kondisi ini sangat berisiko bagi ibu hamil, anak-anak, dan orang lanjut usia.
Sementara itu, kebutuhan pangan juga menjadi persoalan besar. Warga mengaku kesulitan mendapatkan roti, makanan pokok yang biasanya tersedia di setiap sudut Suriah. Kini mereka harus membeli dengan harga tinggi dari desa lain atau membuat sendiri dengan bahan yang terbatas.
Keluarga Abu Hassan hanyalah satu contoh dari ratusan keluarga lain yang menghadapi penderitaan serupa. Hidup di bawah atap yang rusak dan dinding yang retak bukanlah pilihan, tetapi keterpaksaan karena tidak ada tempat lain untuk dituju.
Dalam video, warga dengan lantang menggambarkan Jabkass sebagai desa yang hancur. Mereka menekankan bahwa tanpa bantuan nyata, kehidupan di desa ini hampir mustahil untuk dipertahankan dalam jangka panjang.
Penduduk menyerukan agar pemerintah desa (baladiyah) dan organisasi kemanusiaan segera turun tangan memberikan bantuan. Mereka berharap adanya bantuan untuk memperbaiki rumah, menyediakan air bersih, menghadirkan listrik, serta membangun fasilitas dasar seperti sekolah dan klinik kesehatan.
Meski begitu, sebagian warga masih menunjukkan semangat bertahan. Mereka percaya bahwa kepulangan ini adalah langkah pertama untuk membangun kembali desa yang hilang, meski harus dimulai dari titik nol.
Kondisi Jabkass juga mencerminkan gambaran lebih luas dari Suriah pascaperang. Banyak desa yang hancur, namun warganya kembali dengan tekad untuk hidup di tanah leluhur meski tanpa jaminan kenyamanan.
Sejumlah pengamat menilai bahwa kepulangan massal tanpa persiapan yang matang justru bisa memicu krisis baru. Ketika kebutuhan dasar tidak terpenuhi, potensi migrasi ulang atau konflik sosial semakin besar.
Warga Jabkass sendiri menolak menyerah. Mereka menekankan bahwa bantuan yang tepat waktu akan memberi dorongan besar agar desa mereka bisa hidup kembali.
Kebersamaan antarwarga menjadi kekuatan utama. Mereka saling membantu memperbaiki rumah dengan peralatan seadanya, membagi makanan, hingga menjaga anak-anak bersama agar tetap merasa aman.
Namun, solidaritas semata tidak cukup. Tanpa dukungan dari luar, sulit membayangkan bagaimana desa yang hancur ini bisa bangkit dari keterpurukan.
Banyak keluarga yang baru kembali mengaku ragu apakah mereka bisa bertahan lebih lama. Mereka khawatir musim dingin yang keras akan menambah penderitaan, terutama bagi anak-anak yang tidur tanpa perlindungan memadai.
Di sisi lain, keberanian untuk pulang dilihat sebagai simbol keteguhan hati. Meski menghadapi kenyataan pahit, ratusan keluarga tetap memilih kembali ke tanah kelahiran mereka ketimbang terus hidup di kamp pengungsian.
Video ini menjadi pengingat bahwa pemulihan Suriah bukan hanya soal pembangunan kota besar, melainkan juga tentang desa-desa kecil yang hancur dan ditinggalkan. Jabkass adalah cermin dari tantangan besar yang dihadapi bangsa itu.
Kini, seruan dari warga Jabkass masih bergema: mereka butuh bantuan, butuh perhatian, dan butuh kesempatan untuk membangun kembali desa yang pernah mereka sebut rumah. Tanpa itu semua, harapan mereka bisa kembali padam di tengah reruntuhan.
Wednesday, September 17, 2025
Investor Arab Ramai-ramai Beli Rumah di Suriah
Damaskus – Di tengah transisi politik pasca-jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024, banyak pertanyaan muncul seputar peluang investasi di Suriah, termasuk kemungkinan bagi warga negara asing untuk membeli properti. Berdasarkan undang-undang yang berlaku hingga saat ini, jawaban singkatnya adalah ya, orang asing bisa membeli properti di Suriah, tetapi dengan batasan ketat, persyaratan rumit, dan risiko tinggi akibat ketidakstabilan negara. Informasi ini didasarkan pada kerangka hukum yang masih relevan dari era sebelumnya, meskipun pemerintahan transisi mungkin merevisinya dalam waktu dekat.
Dulu, sebelum Assad lengser, banyak warga Iran dan Lebanon memberi properti di Suriah karena dianggap daerah bersejarah dan memanfaatkan turunnya mata uang lokal.
Kini, setelah pemerintahan baru, investor dari UAE, Qatar, Kuwait, Arab Saudi dan negara Arab lainnya mendominasi.
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Kepemilikan Properti bagi Non-Syrian, warga negara asing diizinkan memiliki properti real estate, terutama hunian dan komersial seperti apartemen, vila, atau gedung kantor. Namun, larangan tegas diberlakukan untuk tanah pertanian atau lahan pedesaan, kecuali jika terkait proyek investasi khusus yang disetujui pemerintah. Amandemen pada 2021 semakin memudahkan proses ini dengan menghapus batas ukuran properti dan persyaratan keluarga, sehingga kini hampir semua orang asing yang tinggal di Suriah bisa mengajukan izin kepemilikan.
Proses pembelian memerlukan persetujuan khusus dari Menteri Dalam Negeri Suriah, yang dikeluarkan melalui dekrit resmi. Ini berarti calon pembeli asing harus melalui birokrasi panjang, termasuk verifikasi dokumen seperti paspor, bukti residensi, dan rencana penggunaan properti. Tanpa persetujuan ini, transaksi tidak sah dan bisa dibatalkan oleh negara. Selain itu, prinsip resiprokal diterapkan: jika negara asal pembeli tidak memberikan hak serupa bagi warga Suriah, maka hak kepemilikan bisa dicabut secara otomatis.
Untuk warisan, undang-undang yang sama memungkinkan orang asing mewarisi properti tanpa batas minimum, yang sebelumnya dilarang. Namun, jika pemilik asing meninggal atau meninggalkan Suriah, properti harus dialihkan ke warga Suriah dalam waktu tiga tahun, atau negara akan mengambil alih melalui Undang-Undang Eksekusi. Ini bertujuan melindungi kepentingan nasional, tapi sering kali menimbulkan kekhawatiran bagi investor asing tentang keamanan aset jangka panjang.
Di wilayah oposisi seperti barat laut Suriah (sebelum transisi penuh), aturan kepemilikan asing lebih ambigu karena kurangnya regulasi jelas dari otoritas lokal. Organisasi donor asing sering membangun proyek perumahan, tapi kepemilikan tanah tetap menjadi isu hukum yang belum terselesaikan sepenuhnya. Bahkan di bawah pemerintahan baru, ketidakpastian ini masih berlaku, terutama di zona konflik yang masih tersisa
Meskipun secara legal memungkinkan, praktiknya sangat rumit, jika tanpa melalui perusahaan properti yang kredibel. Perang sipil sejak 2011 telah merusak infrastruktur properti secara masif, menyebabkan banyak dokumen kepemilikan palsu atau hilang. Laporan dari Enab Baladi pada 2022 menyoroti fenomena ekspatriat Suriah yang membeli properti di wilayah rezim, tapi sering terjebak dalam penipuan sertifikat palsu atau properti rampasan. Orang asing yang ingin membeli harus memverifikasi sejarah properti melalui catatan resmi untuk menghindari klaim hukum dari pemilik asli yang terlantar.
Risiko keamanan dan ekonomi juga menjadi penghalang utama. Sanksi internasional terhadap Suriah belum sepenuhnya dicabut, membuat transfer dana sulit dan berisiko. Selain itu, ketidakstabilan politik pasca-Assad bisa mengubah undang-undang kapan saja, seperti yang terjadi pada 2021 ketika rezim Assad merevisi aturan untuk menarik investor asing guna mengisi kas negara. Analis seperti Nabil Sukkar menyebut undang-undang ini menghapus hambatan utama bagi investasi asing, tapi realitas lapangan menunjukkan proses yang memakan waktu berbulan-bulan.
Dari perspektif historis, sebelum 2008, orang asing hampir tidak bisa membeli properti secara langsung dan sering menggunakan skema sewa 99 tahun sebagai pengganti. Undang-undang baru membuka pintu lebih lebar, terutama untuk investor dari negara Teluk atau Eropa, tapi diskusi di forum seperti Reddit menunjukkan bahwa warga asing seperti warga Inggris sering didiskusikan sebagai "kesempatan murah" pasca-perang, meski disarankan untuk menghindari karena risiko konflik dan korupsi.
Pemerintahan transisi saat ini, yang dipimpin Presiden Ahmed Al Sharaa, tampaknya ingin mendorong rekonstruksi melalui investasi asing. Namun, hingga September 2025, belum ada perubahan signifikan pada undang-undang properti. Beberapa laporan dari UNCTAD menyoroti bahwa aturan warisan untuk asing bertujuan membuka sektor real estate, tapi ini juga dikritik sebagai alat untuk "perubahan demografis" melalui pemukiman milisi asing seperti dari Iran atau Hezbollah.
Bagi orang asing yang tertarik, disarankan berkonsultasi dengan pengacara lokal atau firma hukum internasional yang paham hukum Suriah. Situs seperti ARAB MLS menekankan bahwa meski memungkinkan, prosesnya "sangat merepotkan" bagi non-Syrian tanpa pengalaman lokal. Selain itu, pembayaran harus melalui saluran bank resmi untuk menghindari tuduhan pencucian uang, sesuai keputusan Perdana Menteri 2021 yang mewajibkan minimal 5 juta SYP untuk transaksi properti, sekitar 500 dolar AS.
Di sisi lain, undang-undang ini juga membuka peluang bagi ekspatriat Suriah di luar negeri untuk membeli kembali properti keluarga, meski sering kali dihadapkan pada biaya tinggi dan birokrasi. Fenomena ini meningkat sejak 2021, dengan ribuan transaksi yang tercatat, tapi ketakutan akan pemalsuan dokumen tetap tinggi, seperti yang dilaporkan oleh Syria Report.
Secara keseluruhan, meskipun secara hukum diizinkan dengan syarat, membeli properti di Suriah bagi orang asing bukanlah langkah yang mudah atau aman. Tapi jika mengerti peluangnya, maka saat inilah paling tepat membeli properti di Suriah.
Thursday, July 10, 2025
Jejak Tortor Mandailing dari Saba Hingga Barus
Tarian tortor yang dikenal luas sebagai warisan budaya dari Sumatera Utara, khususnya Mandailing, terus menimbulkan kekaguman dan perdebatan seputar asal-usulnya. Dua narasi besar kini mewarnai perbincangan akademik dan budaya: satu berpijak pada sejarah lokal Batak Toba dan pengaruh kerajaan-kerajaan Sumatra sejak abad ke-13, dan satu lagi mengusung tafsir spiritual yang menghubungkan tortor dengan Nabi Sulaiman serta peradaban kuno di Timur Tengah. Masing-masing membawa warna sejarah dan identitas yang layak dihormati.
Versi pertama, yang lebih banyak dianut oleh kalangan antropolog dan sejarawan, menyebut bahwa tortor telah dikenal sejak masa awal peradaban Batak, diperkirakan sejak abad ke-13 atau sebelumnya. Masa ini beririsan dengan era kemunculan Kesultanan Barus yang dicatat dalam naskah Sejarah Raja-raja Barus. Dalam fase ini, kawasan pantai barat Sumatra—khususnya Barus dan Mandailing—menjadi simpul penting perdagangan, budaya, dan penyebaran Islam awal, yang bersentuhan erat dengan Samudera Pasai dan jaringan ulama dari Arab hingga Gujarat.
Sebagai pelabuhan yang sangat tua, Barus tidak hanya menjadi pintu masuk rempah-rempah dan kapur barus ke dunia Islam dan Eropa, tetapi juga tempat percampuran nilai budaya dan spiritualitas. Dari tempat inilah diperkirakan bentuk-bentuk awal tortor berkembang sebagai bagian dari ritus penguasa lokal dan masyarakat adat, dengan pengaruh budaya maritim, India, dan Islam. Tortor pada masa itu adalah wujud penghormatan kepada leluhur, dengan iringan musik gondang yang menyatu dengan nilai-nilai religius masyarakat.
Sementara itu, narasi kedua berkembang dari komunitas Mandailing yang menyandarkan sejarah tortor pada warisan spiritual yang jauh lebih tua. Dalam versi ini, tortor dipercaya berasal dari masa Nabi Sulaiman AS, dan merupakan peninggalan suku-suku Timur Tengah yang berbaur di wilayah Asia Selatan dan Sumatra (Sayaniga). Klaim ini bersandar pada penafsiran linguistik dan legenda bahwa kata “tor” berasal dari bahasa Semit “Ṭūr” yang berarti gunung, dan bahwa gerakan tortor mencerminkan bentuk penghormatan sakral terhadap Tuhan dan alam.
Lebih lanjut, komunitas yang mendukung narasi ini menautkannya dengan kata “Sabak” atau “Saba’,” yang juga menjadi nama wilayah di Jambi dan identik dengan kisah Ratu Saba dalam Al-Qur'an. Nama Sayabiga sendiri disebut dalam sumber-sumber Arab awal sebagai komunitas pelaut dan tentara yang berasal dari wilayah timur India dan kepulauan, kemungkinan besar Sumatra atau Semenanjung Melayu. Ini menjadi celah interpretasi baru bahwa Sumatra sudah dikenal dalam dunia Timur Tengah kuno sejak ribuan tahun lalu.
Para peneliti kini mulai menaruh perhatian pada istilah “Zabag” dan “Sayabiga” yang tercatat dalam literatur Arab abad ke-8 hingga ke-10, dan menggambarkan kerajaan-kerajaan kaya di wilayah Asia Tenggara. Nama-nama ini dipercaya merujuk pada Sriwijaya dan negeri-negeri Sumatra yang menjadi pusat budaya maritim dan spiritual pada masa itu. Dengan begitu, klaim bahwa tortor adalah peninggalan spiritual dari zaman Nabi Sulaiman bukan tidak mungkin dijelaskan sebagai bagian dari warisan kolektif dunia Melayu-Kuno.
Namun demikian, kedua pendapat ini sering berbenturan dalam forum budaya dan akademik. Satu pihak menuntut validitas historis dan bukti arkeologis, sementara pihak lain mengedepankan kepercayaan, spiritualitas, dan tradisi lisan turun-temurun yang dianggap lebih otentik daripada catatan barat atau kolonial. Ketegangan ini mencerminkan dinamika antara ilmu pengetahuan dan kebudayaan lokal yang memiliki logikanya sendiri.
Untuk membangun saling pengertian, penting bagi kedua pihak untuk tidak memaksakan klaim sebagai satu-satunya kebenaran sejarah. Versi akademik yang menyandarkan diri pada kronik, prasasti, dan artefak perlu membuka ruang untuk tafsir spiritual yang berkembang di tengah masyarakat adat. Sebaliknya, narasi spiritual yang mengaitkan tortor dengan nabi dan suku kuno harus terbuka pada penyempurnaan melalui kajian ilmiah agar bisa dikaji lintas disiplin.
Dengan pendekatan multikultural dan multidisipliner, tortor tidak hanya menjadi warisan Batak atau Mandailing semata, tetapi juga bagian dari mozaik besar sejarah global. Kemungkinan bahwa tortor adalah hasil asimilasi dari tradisi Timur Tengah, India, dan lokal Nusantara dapat memperkuat posisi Sumatra sebagai pusat peradaban kuno yang sejajar dengan Mesopotamia, India, dan Jazirah Arab. Dalam konteks ini, Sumatra bukan sekadar pulau di ujung barat Indonesia, melainkan simpul sejarah dunia yang masih perlu digali lebih dalam.
Bagi masyarakat Mandailing sendiri, kedua narasi itu seharusnya menjadi sumber kebanggaan, bukan pemisah. Versi akademik menegaskan keterlibatan Mandailing dalam proses sejarah lokal dan nasional, sedangkan versi spiritual menanamkan kebanggaan kosmologis dan kesadaran akan warisan suci yang mengikat masa lalu dengan masa kini. Keduanya memberi makna yang berbeda tapi saling melengkapi dalam membentuk identitas.
Ketika tortor ditampilkan dalam perayaan adat, baik sebagai ritus keagamaan maupun budaya, ia merepresentasikan kesinambungan nilai. Gerakan pelan dan anggun para penari tortor bukan hanya estetika, tetapi bahasa tubuh yang membawa pesan leluhur dan kesadaran kosmis. Musik pengiring seperti onang-onang di Mandailing atau gondang di Toba memperkuat kesan sakral dan kekeluargaan dalam setiap langkah.
Membuka dialog antar-narasi ini adalah tugas generasi muda Batak dan Sumatera pada umumnya. Pelestarian tortor harus melibatkan bukan hanya pertunjukan dan dokumentasi, tetapi juga keterbukaan terhadap interpretasi sejarah yang beragam. Baik yang mendasarkannya pada Barus abad ke-13 maupun Saba ribuan tahun silam, tortor adalah bahasa kebudayaan yang menyatukan, bukan memecah.
Dengan dukungan riset linguistik, arkeologi, sejarah lisan, dan tradisi spiritual, tortor bisa menjadi kunci untuk memahami interkoneksi peradaban global masa lalu. Ia menjadi jendela yang membuka kemungkinan bahwa Sumatra pernah menjadi bagian penting dari sejarah dunia, dan tortor adalah salah satu simbolnya.
Tari yang dulunya dilakukan oleh raja-raja Mandailing diiringi onang-onang kini menjadi bagian dari pertunjukan lintas budaya, dari pesta adat hingga panggung internasional. Namun nilai-nilai sakral tetap harus dijaga, agar tortor tidak kehilangan ruhnya sebagai penghubung antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Di masa depan, penelitian tentang istilah seperti Sayabiga, Zabag, dan Saba dalam literatur kuno harus terus dilakukan untuk membuka ruang baru dalam sejarah Asia Tenggara. Jika benar Sumatra pernah disebut dalam kisah para nabi atau prajurit kerajaan kuno, maka tortor bisa menjadi jejak budaya yang membuktikan keterlibatan kita dalam narasi besar umat manusia.
Sebagai masyarakat adat yang masih hidup dan dinamis, Batak Mandailing patut merayakan pluralitas makna tortor. Menggali warisan lokal bukan untuk mengunggulkan satu versi atas yang lain, tetapi untuk menunjukkan kekayaan sejarah yang tidak dimiliki sembarang bangsa. Dengan saling menghormati, sejarah dan spiritualitas bisa menari bersama—dalam irama tortor yang abadi.
https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Suku_Mandahiling
https://www.facebook.com/share/p/1Dz6DAi1EA/
https://www.facebook.com/share/p/1BhsNsFRGn/
https://www.facebook.com/share/p/1DzJa478G7/
https://www.facebook.com/share/p/1ERKacf2WQ/
https://www.facebook.com/share/p/18uwktUk6N/
https://www.facebook.com/share/v/1EedjVp4NV/
https://www.facebook.com/share/p/16XPH2xKre/
https://www.facebook.com/share/p/16dHykcpqv/
https://www.facebook.com/share/p/16hJ1a1ttR/
Subscribe to:
Posts (Atom)