Saturday, September 28, 2013

Ini Modus Operandi Mafia Tanah dan Hukum Merebut Tanah Anda..

RUU Pertanahan Diharapkan Menjawab Konflik Tanah

RANCANGAN Undang-Undang Pertanahan (RUU Pertanahan) diharapkan mampu menjadi solusi konflik tanah di Indonesia. Selama ini, menurut pengacara kondang, Elsa Syarief, undang-undang yang ada tidak mampu menjawab solusi konflik dan sengketa tanah yang ada di masyarakat. Sehingga tidak jarag terdengar ada orang yang seenaknya membuldoser tanah orang lain tanpa tuntutan hukum.

"Pernah nggak kalian dengar pengusaha dipidanakan karena membuldozer tanah orang lain?, jarang. Karena undang-undang yang ada tidak mencukupi untuk menjerat mereka," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (27/9).

Dia mengatakan, hukum acara di Indonesia yang berlaku saat ini masih campuran antara buatan Indonesia dan hukum peninggalan Belanda. "Mungkin saja di Belandanya sendiri, hukum tersebut sudah kadaluarsa. Tapi terus dipakai," jelasnya.

Sehingga, kata dia, banyak celah dan modus yang dapat dilakukan oleh mereka yang mengerti hukum untuk mengelabui rakyat yang tidak melek hukum dan tidak mempunyai biaya untuk pengurusan administrasi tanah yang dimilikinya.

Dia menambahkan, berdasarkan pegalamannya ada beberapa modus penipuan tanah yang kerap kali terjadi di Indonesia. Pertama adalah gugatan rekayasa. Modus ini sering dilakukan oleh dua orang yang ingin merebut tanah pihak ketiga. Satu orang membuat surat girik terhadap tanah tersebut dan orang kedua membuat sertifikat. "Lalu keduanya saling menggugat tanah yang dimiliki orang lain tersebut," jelasnya.

Setelah itu, pengadilan akan memutuskan gugatan yang menggugat atas tergugat. "Setelah diputuskan, pihak ketiga pemilik tanah itu bisa terheran-heran, karena pengadilan telah memutuskan tanah miliknya menjadi milik orang lain secara sah melalui pengadilan," katanya.

Modus kedua, tuntutan tak berakhir. Dalam modus ini ada pihak yang melayangkan tuntutan kepada pemilik tanah ke pengadilan. "Karena sistem pengadilan kita membolehkan itu, maka keduanya saling menuntut di pengadilan hingga tidak pernah berakhir," jelasnya.

Modus ketiga adalah melegalkan 'uang damai'. Cara ini kata dia sering menimpa pemilik tanah yang kaya, yang ditempati orang lain. Lalu para preman mendatangi pemilik tanah dan meminta uang damai agar persoalannya tidak diteruskan. "Kadang-kadang pemilik tanah itu sampai bangkrut," katanya.

Modus keempat adalah perubahan batas-batas tanah. Menurut Elsa, modus keempat ini seringkali tidak dapat diselesaikan di pengadilan karena lurah atau camatnya mangkir dari pengadilan. Dalam berbagai kasus, pemilik tanah harus membayar biaya akomodasi lurah atau camat tersebut agar mau bersaksi mengenai batas-batas sebenarnya kepemilikan tanah tersebut.

Masalah seperti, kata dia, diperparah karena akses masyarakat kepada peta lokasi tata letak tanah di suatu wilayah sangat terbatas. "Apalagi dengan adanya uang, siapaun lurah atau camat dapat saja memihak pengusaha, walaupun dia sadar tetangga pemilik tanah sebenarnya memang tanahnya diserobot," jelasnya.

Elsa menceritakan, dirinya telah memberikan beberapa masukan kepada RUU Pertanahan tersebut berdasarkan studi yang dilakukannya di berbagai negara, khususnya di Australia dan Afrika Selatan. Karena, tambahnya, sistem pertanahan di Indonesia ini sangat sulit dicari pembandingnya di negara lain yang sudah lebih maju distribusi pertanahannya.

"Saya juga mengusulkan adanya pengadilan pertanahan secara khusus," katanya. Pengadilan pertanahan ini, yang termasuk dalam pengadilan umum, akan dapat memaksa lurah dan camat untuk datang bersaksi, bila perlu dijemput paksa. "Kita tidak boleh lagi membebani orang yang berperkara dengan mendanai kehadiran mereka."

Menurut Elsa, dirinya bersama Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) terus menyempurnakan RUU Pertanahan yang terus mengalami prosesnya di DPR belakangan ini.

More

loading...
Share This

No comments:

Post a Comment

Contact Us

Contact Form

Name

Email *

Message *