Tarian tortor yang dikenal luas sebagai warisan budaya dari Sumatera Utara, khususnya Mandailing, terus menimbulkan kekaguman dan perdebatan seputar asal-usulnya. Dua narasi besar kini mewarnai perbincangan akademik dan budaya: satu berpijak pada sejarah lokal Batak Toba dan pengaruh kerajaan-kerajaan Sumatra sejak abad ke-13, dan satu lagi mengusung tafsir spiritual yang menghubungkan tortor dengan Nabi Sulaiman serta peradaban kuno di Timur Tengah. Masing-masing membawa warna sejarah dan identitas yang layak dihormati.
Versi pertama, yang lebih banyak dianut oleh kalangan antropolog dan sejarawan, menyebut bahwa tortor telah dikenal sejak masa awal peradaban Batak, diperkirakan sejak abad ke-13 atau sebelumnya. Masa ini beririsan dengan era kemunculan Kesultanan Barus yang dicatat dalam naskah Sejarah Raja-raja Barus. Dalam fase ini, kawasan pantai barat Sumatra—khususnya Barus dan Mandailing—menjadi simpul penting perdagangan, budaya, dan penyebaran Islam awal, yang bersentuhan erat dengan Samudera Pasai dan jaringan ulama dari Arab hingga Gujarat.
Sebagai pelabuhan yang sangat tua, Barus tidak hanya menjadi pintu masuk rempah-rempah dan kapur barus ke dunia Islam dan Eropa, tetapi juga tempat percampuran nilai budaya dan spiritualitas. Dari tempat inilah diperkirakan bentuk-bentuk awal tortor berkembang sebagai bagian dari ritus penguasa lokal dan masyarakat adat, dengan pengaruh budaya maritim, India, dan Islam. Tortor pada masa itu adalah wujud penghormatan kepada leluhur, dengan iringan musik gondang yang menyatu dengan nilai-nilai religius masyarakat.
Sementara itu, narasi kedua berkembang dari komunitas Mandailing yang menyandarkan sejarah tortor pada warisan spiritual yang jauh lebih tua. Dalam versi ini, tortor dipercaya berasal dari masa Nabi Sulaiman AS, dan merupakan peninggalan suku-suku Timur Tengah yang berbaur di wilayah Asia Selatan dan Sumatra (Sayaniga). Klaim ini bersandar pada penafsiran linguistik dan legenda bahwa kata “tor” berasal dari bahasa Semit “Ṭūr” yang berarti gunung, dan bahwa gerakan tortor mencerminkan bentuk penghormatan sakral terhadap Tuhan dan alam.
Lebih lanjut, komunitas yang mendukung narasi ini menautkannya dengan kata “Sabak” atau “Saba’,” yang juga menjadi nama wilayah di Jambi dan identik dengan kisah Ratu Saba dalam Al-Qur'an. Nama Sayabiga sendiri disebut dalam sumber-sumber Arab awal sebagai komunitas pelaut dan tentara yang berasal dari wilayah timur India dan kepulauan, kemungkinan besar Sumatra atau Semenanjung Melayu. Ini menjadi celah interpretasi baru bahwa Sumatra sudah dikenal dalam dunia Timur Tengah kuno sejak ribuan tahun lalu.
Para peneliti kini mulai menaruh perhatian pada istilah “Zabag” dan “Sayabiga” yang tercatat dalam literatur Arab abad ke-8 hingga ke-10, dan menggambarkan kerajaan-kerajaan kaya di wilayah Asia Tenggara. Nama-nama ini dipercaya merujuk pada Sriwijaya dan negeri-negeri Sumatra yang menjadi pusat budaya maritim dan spiritual pada masa itu. Dengan begitu, klaim bahwa tortor adalah peninggalan spiritual dari zaman Nabi Sulaiman bukan tidak mungkin dijelaskan sebagai bagian dari warisan kolektif dunia Melayu-Kuno.
Namun demikian, kedua pendapat ini sering berbenturan dalam forum budaya dan akademik. Satu pihak menuntut validitas historis dan bukti arkeologis, sementara pihak lain mengedepankan kepercayaan, spiritualitas, dan tradisi lisan turun-temurun yang dianggap lebih otentik daripada catatan barat atau kolonial. Ketegangan ini mencerminkan dinamika antara ilmu pengetahuan dan kebudayaan lokal yang memiliki logikanya sendiri.
Untuk membangun saling pengertian, penting bagi kedua pihak untuk tidak memaksakan klaim sebagai satu-satunya kebenaran sejarah. Versi akademik yang menyandarkan diri pada kronik, prasasti, dan artefak perlu membuka ruang untuk tafsir spiritual yang berkembang di tengah masyarakat adat. Sebaliknya, narasi spiritual yang mengaitkan tortor dengan nabi dan suku kuno harus terbuka pada penyempurnaan melalui kajian ilmiah agar bisa dikaji lintas disiplin.
Dengan pendekatan multikultural dan multidisipliner, tortor tidak hanya menjadi warisan Batak atau Mandailing semata, tetapi juga bagian dari mozaik besar sejarah global. Kemungkinan bahwa tortor adalah hasil asimilasi dari tradisi Timur Tengah, India, dan lokal Nusantara dapat memperkuat posisi Sumatra sebagai pusat peradaban kuno yang sejajar dengan Mesopotamia, India, dan Jazirah Arab. Dalam konteks ini, Sumatra bukan sekadar pulau di ujung barat Indonesia, melainkan simpul sejarah dunia yang masih perlu digali lebih dalam.
Bagi masyarakat Mandailing sendiri, kedua narasi itu seharusnya menjadi sumber kebanggaan, bukan pemisah. Versi akademik menegaskan keterlibatan Mandailing dalam proses sejarah lokal dan nasional, sedangkan versi spiritual menanamkan kebanggaan kosmologis dan kesadaran akan warisan suci yang mengikat masa lalu dengan masa kini. Keduanya memberi makna yang berbeda tapi saling melengkapi dalam membentuk identitas.
Ketika tortor ditampilkan dalam perayaan adat, baik sebagai ritus keagamaan maupun budaya, ia merepresentasikan kesinambungan nilai. Gerakan pelan dan anggun para penari tortor bukan hanya estetika, tetapi bahasa tubuh yang membawa pesan leluhur dan kesadaran kosmis. Musik pengiring seperti onang-onang di Mandailing atau gondang di Toba memperkuat kesan sakral dan kekeluargaan dalam setiap langkah.
Membuka dialog antar-narasi ini adalah tugas generasi muda Batak dan Sumatera pada umumnya. Pelestarian tortor harus melibatkan bukan hanya pertunjukan dan dokumentasi, tetapi juga keterbukaan terhadap interpretasi sejarah yang beragam. Baik yang mendasarkannya pada Barus abad ke-13 maupun Saba ribuan tahun silam, tortor adalah bahasa kebudayaan yang menyatukan, bukan memecah.
Dengan dukungan riset linguistik, arkeologi, sejarah lisan, dan tradisi spiritual, tortor bisa menjadi kunci untuk memahami interkoneksi peradaban global masa lalu. Ia menjadi jendela yang membuka kemungkinan bahwa Sumatra pernah menjadi bagian penting dari sejarah dunia, dan tortor adalah salah satu simbolnya.
Tari yang dulunya dilakukan oleh raja-raja Mandailing diiringi onang-onang kini menjadi bagian dari pertunjukan lintas budaya, dari pesta adat hingga panggung internasional. Namun nilai-nilai sakral tetap harus dijaga, agar tortor tidak kehilangan ruhnya sebagai penghubung antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Di masa depan, penelitian tentang istilah seperti Sayabiga, Zabag, dan Saba dalam literatur kuno harus terus dilakukan untuk membuka ruang baru dalam sejarah Asia Tenggara. Jika benar Sumatra pernah disebut dalam kisah para nabi atau prajurit kerajaan kuno, maka tortor bisa menjadi jejak budaya yang membuktikan keterlibatan kita dalam narasi besar umat manusia.
Sebagai masyarakat adat yang masih hidup dan dinamis, Batak Mandailing patut merayakan pluralitas makna tortor. Menggali warisan lokal bukan untuk mengunggulkan satu versi atas yang lain, tetapi untuk menunjukkan kekayaan sejarah yang tidak dimiliki sembarang bangsa. Dengan saling menghormati, sejarah dan spiritualitas bisa menari bersama—dalam irama tortor yang abadi.
https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Suku_Mandahiling
https://www.facebook.com/share/p/1Dz6DAi1EA/
https://www.facebook.com/share/p/1BhsNsFRGn/
https://www.facebook.com/share/p/1DzJa478G7/
https://www.facebook.com/share/p/1ERKacf2WQ/
https://www.facebook.com/share/p/18uwktUk6N/
https://www.facebook.com/share/v/1EedjVp4NV/
https://www.facebook.com/share/p/16XPH2xKre/
https://www.facebook.com/share/p/16dHykcpqv/
https://www.facebook.com/share/p/16hJ1a1ttR/
loading...
No comments:
Post a Comment