Thursday, July 10, 2025
Jejak Tortor Mandailing dari Saba Hingga Barus
Tarian tortor yang dikenal luas sebagai warisan budaya dari Sumatera Utara, khususnya Mandailing, terus menimbulkan kekaguman dan perdebatan seputar asal-usulnya. Dua narasi besar kini mewarnai perbincangan akademik dan budaya: satu berpijak pada sejarah lokal Batak Toba dan pengaruh kerajaan-kerajaan Sumatra sejak abad ke-13, dan satu lagi mengusung tafsir spiritual yang menghubungkan tortor dengan Nabi Sulaiman serta peradaban kuno di Timur Tengah. Masing-masing membawa warna sejarah dan identitas yang layak dihormati.
Versi pertama, yang lebih banyak dianut oleh kalangan antropolog dan sejarawan, menyebut bahwa tortor telah dikenal sejak masa awal peradaban Batak, diperkirakan sejak abad ke-13 atau sebelumnya. Masa ini beririsan dengan era kemunculan Kesultanan Barus yang dicatat dalam naskah Sejarah Raja-raja Barus. Dalam fase ini, kawasan pantai barat Sumatra—khususnya Barus dan Mandailing—menjadi simpul penting perdagangan, budaya, dan penyebaran Islam awal, yang bersentuhan erat dengan Samudera Pasai dan jaringan ulama dari Arab hingga Gujarat.
Sebagai pelabuhan yang sangat tua, Barus tidak hanya menjadi pintu masuk rempah-rempah dan kapur barus ke dunia Islam dan Eropa, tetapi juga tempat percampuran nilai budaya dan spiritualitas. Dari tempat inilah diperkirakan bentuk-bentuk awal tortor berkembang sebagai bagian dari ritus penguasa lokal dan masyarakat adat, dengan pengaruh budaya maritim, India, dan Islam. Tortor pada masa itu adalah wujud penghormatan kepada leluhur, dengan iringan musik gondang yang menyatu dengan nilai-nilai religius masyarakat.
Sementara itu, narasi kedua berkembang dari komunitas Mandailing yang menyandarkan sejarah tortor pada warisan spiritual yang jauh lebih tua. Dalam versi ini, tortor dipercaya berasal dari masa Nabi Sulaiman AS, dan merupakan peninggalan suku-suku Timur Tengah yang berbaur di wilayah Asia Selatan dan Sumatra (Sayaniga). Klaim ini bersandar pada penafsiran linguistik dan legenda bahwa kata “tor” berasal dari bahasa Semit “Ṭūr” yang berarti gunung, dan bahwa gerakan tortor mencerminkan bentuk penghormatan sakral terhadap Tuhan dan alam.
Lebih lanjut, komunitas yang mendukung narasi ini menautkannya dengan kata “Sabak” atau “Saba’,” yang juga menjadi nama wilayah di Jambi dan identik dengan kisah Ratu Saba dalam Al-Qur'an. Nama Sayabiga sendiri disebut dalam sumber-sumber Arab awal sebagai komunitas pelaut dan tentara yang berasal dari wilayah timur India dan kepulauan, kemungkinan besar Sumatra atau Semenanjung Melayu. Ini menjadi celah interpretasi baru bahwa Sumatra sudah dikenal dalam dunia Timur Tengah kuno sejak ribuan tahun lalu.
Para peneliti kini mulai menaruh perhatian pada istilah “Zabag” dan “Sayabiga” yang tercatat dalam literatur Arab abad ke-8 hingga ke-10, dan menggambarkan kerajaan-kerajaan kaya di wilayah Asia Tenggara. Nama-nama ini dipercaya merujuk pada Sriwijaya dan negeri-negeri Sumatra yang menjadi pusat budaya maritim dan spiritual pada masa itu. Dengan begitu, klaim bahwa tortor adalah peninggalan spiritual dari zaman Nabi Sulaiman bukan tidak mungkin dijelaskan sebagai bagian dari warisan kolektif dunia Melayu-Kuno.
Namun demikian, kedua pendapat ini sering berbenturan dalam forum budaya dan akademik. Satu pihak menuntut validitas historis dan bukti arkeologis, sementara pihak lain mengedepankan kepercayaan, spiritualitas, dan tradisi lisan turun-temurun yang dianggap lebih otentik daripada catatan barat atau kolonial. Ketegangan ini mencerminkan dinamika antara ilmu pengetahuan dan kebudayaan lokal yang memiliki logikanya sendiri.
Untuk membangun saling pengertian, penting bagi kedua pihak untuk tidak memaksakan klaim sebagai satu-satunya kebenaran sejarah. Versi akademik yang menyandarkan diri pada kronik, prasasti, dan artefak perlu membuka ruang untuk tafsir spiritual yang berkembang di tengah masyarakat adat. Sebaliknya, narasi spiritual yang mengaitkan tortor dengan nabi dan suku kuno harus terbuka pada penyempurnaan melalui kajian ilmiah agar bisa dikaji lintas disiplin.
Dengan pendekatan multikultural dan multidisipliner, tortor tidak hanya menjadi warisan Batak atau Mandailing semata, tetapi juga bagian dari mozaik besar sejarah global. Kemungkinan bahwa tortor adalah hasil asimilasi dari tradisi Timur Tengah, India, dan lokal Nusantara dapat memperkuat posisi Sumatra sebagai pusat peradaban kuno yang sejajar dengan Mesopotamia, India, dan Jazirah Arab. Dalam konteks ini, Sumatra bukan sekadar pulau di ujung barat Indonesia, melainkan simpul sejarah dunia yang masih perlu digali lebih dalam.
Bagi masyarakat Mandailing sendiri, kedua narasi itu seharusnya menjadi sumber kebanggaan, bukan pemisah. Versi akademik menegaskan keterlibatan Mandailing dalam proses sejarah lokal dan nasional, sedangkan versi spiritual menanamkan kebanggaan kosmologis dan kesadaran akan warisan suci yang mengikat masa lalu dengan masa kini. Keduanya memberi makna yang berbeda tapi saling melengkapi dalam membentuk identitas.
Ketika tortor ditampilkan dalam perayaan adat, baik sebagai ritus keagamaan maupun budaya, ia merepresentasikan kesinambungan nilai. Gerakan pelan dan anggun para penari tortor bukan hanya estetika, tetapi bahasa tubuh yang membawa pesan leluhur dan kesadaran kosmis. Musik pengiring seperti onang-onang di Mandailing atau gondang di Toba memperkuat kesan sakral dan kekeluargaan dalam setiap langkah.
Membuka dialog antar-narasi ini adalah tugas generasi muda Batak dan Sumatera pada umumnya. Pelestarian tortor harus melibatkan bukan hanya pertunjukan dan dokumentasi, tetapi juga keterbukaan terhadap interpretasi sejarah yang beragam. Baik yang mendasarkannya pada Barus abad ke-13 maupun Saba ribuan tahun silam, tortor adalah bahasa kebudayaan yang menyatukan, bukan memecah.
Dengan dukungan riset linguistik, arkeologi, sejarah lisan, dan tradisi spiritual, tortor bisa menjadi kunci untuk memahami interkoneksi peradaban global masa lalu. Ia menjadi jendela yang membuka kemungkinan bahwa Sumatra pernah menjadi bagian penting dari sejarah dunia, dan tortor adalah salah satu simbolnya.
Tari yang dulunya dilakukan oleh raja-raja Mandailing diiringi onang-onang kini menjadi bagian dari pertunjukan lintas budaya, dari pesta adat hingga panggung internasional. Namun nilai-nilai sakral tetap harus dijaga, agar tortor tidak kehilangan ruhnya sebagai penghubung antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Di masa depan, penelitian tentang istilah seperti Sayabiga, Zabag, dan Saba dalam literatur kuno harus terus dilakukan untuk membuka ruang baru dalam sejarah Asia Tenggara. Jika benar Sumatra pernah disebut dalam kisah para nabi atau prajurit kerajaan kuno, maka tortor bisa menjadi jejak budaya yang membuktikan keterlibatan kita dalam narasi besar umat manusia.
Sebagai masyarakat adat yang masih hidup dan dinamis, Batak Mandailing patut merayakan pluralitas makna tortor. Menggali warisan lokal bukan untuk mengunggulkan satu versi atas yang lain, tetapi untuk menunjukkan kekayaan sejarah yang tidak dimiliki sembarang bangsa. Dengan saling menghormati, sejarah dan spiritualitas bisa menari bersama—dalam irama tortor yang abadi.
https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Suku_Mandahiling
https://www.facebook.com/share/p/1Dz6DAi1EA/
https://www.facebook.com/share/p/1BhsNsFRGn/
https://www.facebook.com/share/p/1DzJa478G7/
https://www.facebook.com/share/p/1ERKacf2WQ/
https://www.facebook.com/share/p/18uwktUk6N/
https://www.facebook.com/share/v/1EedjVp4NV/
https://www.facebook.com/share/p/16XPH2xKre/
https://www.facebook.com/share/p/16dHykcpqv/
https://www.facebook.com/share/p/16hJ1a1ttR/
Tuesday, April 8, 2025
Jejak Islam di Pakpak Bharat dan Dairi: Barus, Binanga, Singkil Sebagai Gerbang Awal
Kabupaten Pakpak Bharat dan Dairi, wilayah yang kaya akan budaya dan sejarah di Sumatera Utara, menyimpan catatan menarik mengenai masuk dan berkembangnya agama Islam. Berbeda dengan daerah pesisir timur Sumatera yang lebih awal tersentuh oleh gelombang dakwah, Islamisasi di Pakpak memiliki dinamika dan tokoh-tokoh pionir tersendiri. Namun, jejak jalur perdagangan dan interaksi budaya dari pusat-pusat Islam awal di Sumatera seperti Barus, Binanga (kini bagian dari Subulussalam), dan Singkil, tidak dapat diabaikan sebagai fondasi awal penyebaran ajaran Islam di wilayah pegunungan ini.
Barus, yang dikenal dalam catatan sejarah sebagai salah satu bandar perdagangan tertua di Nusantara, telah menjadi titik temu berbagai peradaban, termasuk penyebaran agama Islam pada masa-masa awal. Para pedagang dan ulama yang datang melalui jalur laut dan darat dari Barus membawa serta nilai-nilai Islam, yang secara perlahan mulai berinteraksi dengan masyarakat lokal di pedalaman, termasuk wilayah yang kini dikenal sebagai Pakpak Bharat dan Dairi.
Baca: Contoh Ucapan Lebaran dalam Bahasa Batak Toba
Meskipun belum ada catatan eksplisit mengenai dakwah terstruktur dari Barus langsung ke Pakpak pada masa awal, pengaruh keislaman dari bandar niaga penting ini kemungkinan merembes melalui jalur perdagangan dan pertukaran budaya antar wilayah.
Binanga, yang kini menjadi bagian dari Kota Subulussalam, juga memiliki peran signifikan dalam sejarah Islam di Sumatera bagian utara dan tengah.
Sebagai pusat permukiman dan jalur lalu lintas perdagangan, Binanga menjadi salah satu simpul penyebaran Islam ke wilayah pedalaman. Interaksi antara masyarakat Binanga yang mayoritas Muslim dengan komunitas-komunitas di sekitarnya, termasuk yang berada di wilayah Pakpak, membuka peluang bagi masuknya ajaran Islam secara bertahap. Para pedagang dan musafir dari Binanga, yang membawa serta identitas dan nilai-nilai Islam, berpotensi menjadi agen-agen awal pengenalan agama ini kepada masyarakat Pakpak.
Singkil, yang terletak di pesisir barat Aceh, juga memainkan peran penting dalam dinamika keislaman di wilayah sekitarnya. Sebagai bandar pelabuhan yang aktif, Singkil menjadi pintu masuk bagi para pedagang dan ulama dari berbagai daerah. Jalinan perdagangan dan hubungan sosial antara Singkil dan wilayah pedalaman, termasuk Pakpak, membuka ruang bagi pertukaran gagasan keagamaan.
Meskipun prosesnya mungkin tidak langsung dan terstruktur, pengaruh Islam dari Singkil secara bertahap dapat mencapai komunitas-komunitas di Pakpak melalui interaksi antar masyarakat dan jalur-jalur perniagaan tradisional.
Dalam konteks perkembangan Islam di Pakpak, muncul tokoh-tokoh penting yang secara aktif menyebarkan ajaran Islam dan membangun komunitas Muslim. Salah satunya adalah Maliddin Maarif Lubis, seorang tokoh yang memiliki latar belakang pendidikan agama yang kuat dan semangat dakwah yang membara. Berasal dari Medan, sebuah kota dengan tradisi Islam yang mapan, Lubis membawa serta militansi dakwah yang luar biasa dalam upayanya mengenalkan dan mengembangkan Islam di tengah masyarakat Pakpak.
Langkah strategis yang dilakukan oleh Maliddin Maarif Lubis adalah melibatkan keluarganya secara aktif dalam proses dakwah. Istrinya turut serta berbaur dengan masyarakat Pakpak, membangun jembatan komunikasi dan saling pengertian yang sangat penting dalam penyebaran nilai-nilai agama. Pendekatan personal dan inklusif ini menjadi kunci keberhasilan Lubis dalam merangkul masyarakat setempat dan menanamkan benih-benih keimanan.
Maliddin Maarif Lubis juga memiliki keterkaitan dengan Yayasan Zending Islam, sebuah organisasi yang didirikan oleh Haji Guru Kitab Sibarani, seorang tokoh Muslim dari Porsea, Toba Samosir.
Yayasan yang berpusat di Medan ini memiliki visi yang luas dalam menyebarkan Islam, tidak hanya di kalangan masyarakat Pakpak, tetapi juga memberikan kesempatan bagi anak-anak dari komunitas tersebut untuk menimba ilmu agama melalui pendidikan pesantren. Keterlibatan Lubis dalam yayasan ini menunjukkan adanya upaya terorganisir dalam memajukan pendidikan dan pemahaman Islam di wilayah Pakpak.
Sebelum mengemban amanah sebagai Ketua Yayasan Zending Islam, Maliddin Maarif Lubis memiliki pengalaman yang luas di bidang kemasyarakatan dan informasi. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Penerangan Sumatera Utara, sebuah posisi yang memberikannya pemahaman mendalam tentang dinamika sosial dan budaya di wilayah tersebut. Latar belakang ini kemungkinan besar memengaruhi pendekatan dakwahnya yang menekankan pada pembangunan masyarakat secara holistik.
Selain pengalaman di pemerintahan, Maliddin Maarif Lubis juga memiliki akar pendidikan agama yang kuat. Ia adalah alumni Pesantren Musthafawiyah Purba Baru, sebuah institusi pendidikan Islam terkemuka di Sumatera Utara. Di pesantren tersebut, ia berguru kepada murid-murid Syeikh Musthafa Husein, seorang ulama kharismatik yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan Islam di wilayah tersebut. Pendidikan agama yang mendalam ini menjadi landasan teologis dan metodologis bagi upaya dakwah Lubis di Pakpak.
Berbeda dengan para pionir Islam sebelumnya yang mungkin lebih fokus pada pengenalan ajaran dasar, Maliddin Maarif Lubis memiliki visi yang lebih komprehensif dalam membangun masyarakat Muslim Pakpak. Ia menyadari bahwa untuk memajukan komunitas, pembangunan sarana pendidikan menjadi prioritas utama, terutama mengingat kondisi pendidikan masyarakat Islam Pakpak pada masa itu yang masih relatif lemah. Keyakinan akan pentingnya pendidikan sebagai fondasi kemajuan mendorong Lubis untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam membangun infrastruktur pendidikan.
Dalam melaksanakan misi dakwahnya, Maliddin Maarif Lubis tidak bekerja sendiri. Ia mendapatkan dukungan yang signifikan dari masyarakat setempat yang memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan agama bagi generasi muda. Bersama-sama, Lubis dan masyarakat membangun madrasah-madrasah di berbagai lokasi strategis, terutama di daerah Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe. Keberadaan madrasah-madrasah ini menjadi pusat pendidikan Islam bagi anak-anak Pakpak, memberikan mereka akses terhadap pengetahuan agama dan nilai-nilai moral yang luhur.
Hingga kini, jejak perjuangan Maliddin Maarif Lubis masih dapat disaksikan melalui keberadaan madrasah-madrasah yang ia bangun. Sebagian besar madrasah tersebut masih beroperasi aktif sebagai lembaga pendidikan Islam, mencetak generasi muda Pakpak yang beriman dan berilmu. Meskipun sebagian kecil madrasah lainnya sudah tidak lagi difungsikan sebagai sekolah, keberadaannya tetap menjadi saksi bisu atas dedikasi dan visi seorang pionir Islam yang berupaya membangun masyarakat melalui pendidikan.
Kisah perjalanan Islam di Pakpak Bharat dan Dairi, dengan akar yang mungkin terhubung dengan pusat-pusat Islam awal seperti Barus, Binanga, dan Singkil, serta diperkuat oleh dedikasi tokoh seperti Maliddin Maarif Lubis, merupakan bagian penting dari sejarah Islam di Sumatera Utara. Upaya membangun masyarakat melalui pendidikan yang dipelopori oleh Lubis memberikan warisan yang berkelanjutan bagi perkembangan Islam di wilayah ini. Semangat dakwah yang inklusif dan fokus pada pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan menjadi pelajaran berharga dalam memahami dinamika penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara.
Thursday, November 10, 2022
Bagaimana Nasib Bursa Saham Yaman Setelah Houthi Kuasai Sanaa?
Para investor Yaman belakangan dilaporkan banyak yang menjadi korban penipuan investasi saham di beberapa negara Teluk melalui calo atau mediator.
Hal itu dapat difahami karena Yaman tidak mempunyai Bursa Saham sendiri walau pernah digagas pada tahun 2010 di Sanaa.
Melihat kondisi sekarang, pendirian Bursa Saham di Sanaa menjadi tidak realistis karena ibukota Yaman itu kini sedang dikuasai kelompok Houthi.
Maka tak heran peluang investasi utama justru adalah dengan menanamkan saham di perusahaan BUMN atau swasta yang dikendalikan Houthi di Sanaa maupun pemerintah yang sah di Aden yang dikuasai milisi Dewan Transisi Selatan (STC) pemerintahan de facto Yaman Selatan.
Jika pemerintah yang sah ingin mendirikan kembali Bursa Saham maka pilihanya adalah berlokasi di tempat yang relatif aman seperti Marib, Mukalla dan Seiyun di Hadramaut.
Subscribe to:
Posts (Atom)